Beranda | Artikel
Keutamaan Sayyidul Istighfar
Rabu, 21 Agustus 2019

KEUTAMAAN SAYYIDUL ISTIGHFAR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَيِّدُ الْاِسْتِغْفارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ : اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ مَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا ، فَمَـاتَ مِنْ يوْمِهِ قَبْل أَنْ يُمْسِيَ ، فَهُو مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ 

Dari  Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Sesungguhnya Istighfâr yang paling baik adalah seseorang hamba mengucapkan :
ALLAHUMMA ANTA RABBII LÂ ILÂHA ILLÂ ANTA KHALAQTANII WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHA’TU A’ÛDZU BIKA MIN SYARRI MÂ SHANA’TU ABÛ`U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA WA ABÛ`U BIDZANBII FAGHFIRLÎ FA INNAHU LÂ YAGHFIRU ADZ DZUNÛBA ILLÂ ANTA
(Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau).

(Beliau bersabda) “Barangsiapa mengucapkannya di waktu siang dengan penuh keyakinan lalu meninggal pada hari itu sebelum waktu sore, maka ia termasuk penghuni surga. Barangsiapa membacanya di waktu malam dengan penuh keyakinan lalu meninggal sebelum masuk waktu pagi, maka ia termasuk penghuni surga.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:

  1. Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
  2. Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
  3. Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
  4. Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)
  5. al-Hâkim (II/458)
  6. Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
  7. Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu

Diriwayatkan juga oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3393) dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu dengan lafazh awalnya berbeda, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى سَيِّدِ الْإِسْتِغْفَار …

Maukah aku tunjukkan kepadamu sayyidul Istighfâr ? …

at-Tirmidzi berkata, ‘Hadits Hasan Gharib.’ Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dengan beberapa jalan dan syawâhid (penguat)nya dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1747).

Imam Bukhâri rahimahullah memasukkan hadits ini dalam “Bab Istighfâr yang paling utama”. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullah menganggap ini adah lafazh Istighfâr terbaik. Juga kandungan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa doa ini layak disebut dengan Sayyidul Istighfâr (penghulu Istighfâr) sebagaimana yang disifati oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Penjelasan Tentang Anjuran Istighfâr
Setiap bani Adam itu pasti banyak berbuat dosa, namun yang terbaik dari orang yang berbuat dosa yaitu yang memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla dan bertaubat. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan hamba-Nya untuk selalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Allâh pun berjanji akan mengampuni orang-orang yang meminta ampun dan bertaubat kepada-Nya.  Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَىٰ

Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.[Thâha/20:82]

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”  [az-Zumar/39:53]

Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk banyak beristighfâr/meminta ampun kepada-Nya. Begitu pula Allâh memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beristighfâr. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ 

“…Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang mukmin laki-laki dan perempuan…” [Muhammad/47:19]

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا

Maka aku berkata (kepada mereka), ‘Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun.’” [Nûh/71:10]

وَاسْتَغْفِرِ اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan mohon ampunlah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [AnNisâ’/4:106]

فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. [an-Nashr/110: 3]

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan  pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allâh). [adz-Dzâriyât/51:18]

Maksudnya, bangun di akhir malam untuk shalat tahajjud dan di waktu sahur mereka memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla.

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya kemudian dia mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nisâ’/4:110]

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ

Dan sekali-kali Allâh tidaklah akan mengadzab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada diantara mereka, dan tidaklah pula Allâh akan mengadzab mereka sedang mereka meminta ampun.” [al-Anfâl/8:33]

Dalam hadits Qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

… يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْلَكُمْ…

…Wahai hamba-hamba-Ku! Sesungguhnya kalian selalu berbuat kesalahan (dosa) di waktu malam dan siang hari, dan Aku mengampuni dosa-dosa seluruhnya, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuni kalian…[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa Istighfâr ketika ruku’ atau sujud sebagai berikut :

سُبْحَانَكَ اللهم رَبَّنَا وَ بِحَمْدِكَ اللهم اغْفِرْلِيْ.

Maha suci Engkau, ya Allâh! Rabb kami dan dengan memuji-Mu ya Allâh ampunilah dosaku.[2]

Para Ulama menyebutkan bahwa Allâh Azza wa Jalla memberikan rasa aman kepada manusia dengan 2 hal, yaitu adanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diantara mereka dan Istighfâr. Sekarang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, berarti yang masih tinggal satu yaitu istighfâr. Oleh karena itu istighfâr menjadi pengaman dari kemarahan Allâh Azza wa Jalla .

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan keji itu sedang mereka mengetahui. [Ali ‘Imrân/3:135]

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

لَا كَبِيْرَةَ مَعَ اسْتِغْفَارٍ وَلَا صَغِيْرَةَ مَعَ إِسْرَارٍ

Tidak ada dosa besar jika diiringi dengan istighfâr dan tidak ada dosa kecil jika dikerjakan terus menerus.[3]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

واللهِ إِنِّي لأَسْتَغْفِرُ اللهَ وأَتُوبُ إِلَيْهِ في الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سبْعِينَ مَرَّةً

Demi Allâh, sesungguhya aku benar-benar memohon ampun kepada Allâh dan bertaubat kepadaNya dalam sehari semalam lebih dari 70 kali.[4]

Dalam riwayat Imam Muslim :

وَإِنِّيْ لأَسْتغْفِرُ اللهَ فِيْ الْيوْمِ مِئَةَ مرَّةٍ

…Dan sesungguhnya aku benar-benar memohon ampunan Allâh dalam sehari semalam sebanyak 100 kali.[5]

 وعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ الْمَجْلِسِ الْوَاحِدِ مِائَةَ مَرَّةٍ : « ربِّ اغْفِرْ لِيْ ، وتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ » .

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma beliau berkata, “Kami dahulu menghitung dalam satu majlis Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam 100 kali membaca, ‘Ya Allâh ampunilah dosaku, dan terimalah taubatku. Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.’”[6]

 وعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  منْ قَالَ : « أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ »، غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وإِنْ كَانَ قَدْ فَرَّ مِنَ الزَّحْفِ .

Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca :

أَسْتَغْفِرُ اللهَ الَّذِيْ لَا إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ

(Aku mohon ampun kepada Allâh yang tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, yang Maha Hidup dan Maha Berdiri sendiri, dan aku bertaubat kepadaNya) maka akan diampuni dosa-dosanya walaupun pernah lari dari medan perang.[7]

Di antara do’a Istighfâr yang paling baik adalah sayyidul Istighfâr, sebagimana yang telah diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu .

SYARAH HADITS
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan lafazh istigfâr ini dengan Sayyidul Istighfâr karena terkandung dalam hadits ini makna taubat dan merendahkan diri di hadapan Allâh Azza wa Jalla , yang tidak terdapat dalam hadits-hadits taubat lainnya.

Imam ath-Thîbiy rahimahullah berkata, “Karena do’a ini mengandung makna-makna taubat secara menyeluruh maka dipakailah istilah sayyid, yang pada asalnya, sayyid itu artinya induk atau pimpinan yang dituju dalam semua keperluan dan semua urusan kembali kepadanya.”[8]

Ibnu Abi Jamrâh rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dalam  hadits ini makna-makna yang indah dan lafazh-lafazh yang bagus sehingga pantas untuk dinamakan sayyidul Istighfâr. Dalam hadits ini terdapat :

  • Pengakuan terhadap uluhiyah Allâh dan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Pengakuan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah satu-satu-Nya yang Maha Pencipta. Pengakuan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan janji yang diambil untuk hamba-Nya.
  • Harapan yang telah Allâh janjikan kepada hamba-Nya,
  • Berlindung dari keburukan yang telah diperbuat hamba terhadap dirinya,
  • Menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengadakan semua nikmat ini, menisbatkan dosa kepada diri seorang hamba,
  • Keinginan dan harapan dia agar diampuni dosa-dosanya oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala
  • dan pengakuannya bahwa tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allâh.”[9]
  1. اللّٰـهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ (Ya Allâh Engkau adalah Rabb-ku)[10]

Pengakuan seorang hamba bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah Rabbnya. Rabb adalah pemilik, pencipta, pemberi rizki dan pengatur semua urusan makhluk-Nya. Terkandung dalam hadits ini pengakuan tentang rububiyyah Allâh Azza wa Jalla .

  1. لَا إِلٰـهَ إِلَّا أَنْتَ (Tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Engkau)

Yaitu tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau ya Allâh. Kalimat ini merupakan perwujudan tauhid uluhiyyah. Semua Muslim wajib meyakini bahwa satu-satunya yang berhak diibadahi dengan benar hanyalah Allâh, sedangkan selain Allâh tidak boleh disembah dan kita hanya berdo’a kepada Allâh saja.

  1. خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ (Engkau telah menciptakan aku, dan aku adalah hamba-Mu)

Pengakuan hamba bahwa tidak ada yang menciptakan alam semesta beserta isinya ini melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla saja. Seluruhnya adalah makhluk, baik di langit maupun di bumi. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan semua makhluk. Kalimat ini mengandung (prilaku hamba) yang menghinakan dan merendahkan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla . Di dalamnya terkandung tauhid rububiyyah. Doa ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menunjukan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba, yang tidak berhak untuk diibadahi.

  1. وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَاسْتَطَعْتُ  (Aku menetapi perjanjian-Mu dan janji-Mu sesuai dengan kemampuanku)

Aku tetap dalam perjanjian-Mu  Ya Allâh, beriman kepada-Mu, melaksanakan ketaatan kepada-Mu dan melaksanakan perintah-perintah-Mu semampuku. Menurut kemampuan aku, karena Allâh tidaklah membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya.  Yang dimaksud janji di sini adalah janji ketika Allâh mengeluarkan calon-calon makhluk atau ruh. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ

Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allâh Mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya Berfirman), ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.’ (Kami Lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’” [al-A’râf/7:172]

Kalau mereka bersaksi bahwa Allâh Azza wa Jalla sebagai Rabb mereka, maka konsekuensinya adalah mereka harus beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Konsekuensinya adalah melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan larangan Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٦٠﴾وَأَنِ اعْبُدُونِي ۚ هَٰذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

Bukankah Aku telah Memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan ? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yâsîn/36:60-61)

Kalimat  (وَوَعْدِكَ)“janji-Mu” yaitu tentang balasan pahala dan ganjaran, yaitu ‘Aku tetap dalam perjanjianku dengan Allâh selama aku mampu. Aku yakin dengan janji-Mu Ya Allâh.’ Bagi orang-orang yang bertauhid dan menjauhkan perbuatan syirik, dijanjikan dengan Surga dan pahala yang besar.’

Oleh karena itu hadits di atas menyebutkan barangsiapa membacanya dengan penuh keyakinan maka dijanjikan dengan Surga.

  1.  أَعُوْذُبِكَ مِنْ شَرِّ مَاصَنَعْتُ  (Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku)

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan amal perbuatanku dan akibat buruknya, (Aku berlindung kepada-Mu agar tidak) ditimpa dengan petaka, agar diampuninya dosa, dan kembali kepada perbuatan jelekku.

Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan perbuatan dosa dan maksiat. Sesungguhnya perbuatan dosa membawa akibat yang jelek. Orang yang durhaka kepada orang tua, memutuskan silaturahim, menzhalimi orang lain, mengambil hak orang lain, makan riba, dan dosa-dosa lainnya akan membawa akibat yang jelek. Diantara akibat buruknya adalah hilangnya barakah dalam ilmu kita dan hafalan kita. Akibat dosa yang paling berbahaya adalah akan di adzab oleh Allâh Azza wa Jalla . Harta yang diperoleh dengan cara zhalim maka harta itu tidak akan mendapatkan barakah,  akan membuat istrinya dan anak-anaknya durhaka. Oleh karena itu Nabi  n ketika khutbatul haajah bersabda :

وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا…

Kami berlindung kepada Allâh dari keburukan jiwa kami dan kejelekan amal perbuatan kami

Oleh karena itu, hendaknya kita berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala perbuatan dosa kita.

Akibat dosa tersebut diantaranya hilangnya barakah umur kita, barakah ilmu kita, amal ketaatan, dan hilangnya hafalan. Yang paling bahaya adalah tidak diampuni dosa kita. Atau kita kembali kepada perbuatan dosa itu. Nas-alullâha al-‘afwa wal ‘âfiyah was salâmah fid dunyâ wal akhirah.

  1. أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ   (Aku akui nikmat-Mu kepadaku)

Aku mengakui dan menetapkan besarnya nikmat-Mu kepadaku, dan agungnya karunia-Mu dan kebaikan-Mu kepadaku. Setiap Muslim dan Muslimah wajib menisbatkan semua nikmat kepada Allâh Azza wa Jalla . Semua nikmat yang diberikan Allâh Azza wa Jalla , baik di langit, bumi dan diantara keduanya adalah berasal dari Allâh Azza wa Jalla .

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. [an-Nahl/16:53]

Nikmat Allâh Azza wa Jalla yang diberikan kepada kita sangatlah banyak. Kita tidak akan pernah bisa menghitungnya. Cobalah kita hitung nikmat yang Allâh Azza wa Jalla berikan sejak kita lahir ! Nikmat mata, telinga, lisan, rambut, hati, udara, oksigen, air, tumbuhan, nikmat hidayah, kesehatan, dijauhkan dari malapetaka, nikmat di atas tauhid dan sunnah, dan lainnya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allâh, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh). [Ibrâhîm/14:34]

Apabila kita mengakui nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla , maka konsekuensinya adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Bila seorang hamba bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh akan menambah nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan (ingatlah) ketika Rabbmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” [Ibrâhîm/14:7]

Jika seseorang bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla maka Allâh Azza wa Jalla tidak akan mengadzabnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

Allâh tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan Allâh Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. [an-Nisâ’/4:147]

  1. وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ   (Aku mengakui dosaku kepada-Mu)

Aku mengakui kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan, berupa perbuatan dosa, kesalahan, kelalaian, kewajiban yang aku tinggalkan, perbuatan haram dan maksiat yang aku lakukan. Pengakuan ini sebagai langkah awal untuk bertaubat dan kembali kepada Allâh Azza wa Jalla .

  1. فَاغْفِرْلِيْ   (Ampunilah dosaku)

Ya Allâh, ampunilah seluruh dosa yang telah aku lakukan. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Seorang hamba yang bertakwa tatkala ia berbuat dosa, ia segera memohon ampun kepada Allâh Azza wa Jalla . Sebagaimana firman-Nya:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allâh, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” [Ali ‘Imrân/3:135]

  1. فَإِنَّهُ لاَيَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ   (Karena yang tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau ya Allâh)

Pengakuan kita bahwa tidak ada yang dapat mengampuni semua dosa-dosa kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Oleh karena kita memohon ampun hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , tidak kepada selain-Nya. Allâh Maha Pengampun dan Penerima taubat.

  1. Barangsiapa yang membacanya di pagi hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum sore hari, maka ia termasuk penghuni Surga. Barangsiapa yang membacanya di sore hari dengan penuh keyakinan, kemudia ia meninggal dunia sebelum esok pagi hari, maka ia termasuk penghuni Surga

Yaitu membacanya dengan penuh keyakinan, ikhlas, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , meninggalkan syirik, membenarkan kandungan do’a sayyidul Istighfâr ini, mengakui tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, mengakui semua dosa-dosanya, mengakui semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla  dan meminta ampunan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk membacanya dengan penuh keyakinan ketika kita di waktu pagi dan sore hari.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla yang ia tuju, maka dia mempersaksikan bahwa semua itu karunia Allâh dan menyadari dirinya yang banyak dosa dan aib.”[11]

Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan 2 hal, yaitu persaksian semua nikmat dari Allâh Azza wa Jalla dan pengakuan dosa-dosa yang telah dilakukan, bahwa kita banyak berbuat kesalahan. Lalu dilanjutkan dengan amal. Menyaksikan semua nikmat, anugerah dan karunia Allâh kepada kita, konsekuensinya adalah wajibnya kita mencintai Allâh Azza wa Jalla . Ini juga menuntut kita memuji Allâh, bersyukur kepada Allâh karena Allâh telah memberi semua nikmat dan kebaikan. Kita pun harus menyadari diri kita yang banyak berbuat dosa dan kesalahan, yang menuntut kita agar menghinakan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , merendahkan diri kita di hadapan Allâh Azza wa Jalla serta menyatakan diri kita fakir, membutuhkan Allâh dan kita wajib bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla pada setiap waktu dan dia tidak melihat dirinya kecuali orang yang tidak punya apa-apa sama sekali.[12]

FAIDAH-FAIDAH HADITS

  1. Wajib menetapkan rububiyyah Allâh Azza wa Jalla , karena Allâh adalah Pencipta, Yang Maha Pemberi Rezeki, Yang Maha Pemberi karunia, Yang Maha Menahan, dan Yang Maha Melapangkan, Yang Maha menghidupkan, Yang Maha mematikan, dan Yang Maha mengatur segala urusan.
  2. Wajib menetapkan ‘ubudiyyah, uluhiyyah, dan wahdaniyyah bagi Allâh Azza wa Jalla . Bahwa hanya Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang wajib dan berhak diibadhi dengan benar.
  3. Dalam sayyidul Istighfâr terdapat penetapan dan pengakuan seorang hamba bahwa dirinya adalah hamba yang hina di hadapan Rabb-nya, Pencipta-nya, dan Pemberi Rezeki-nya.
  4. Di dalamnya juga terdapat penetapan seorang hamba bahwa dia berpegang kepada perjanjian yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala ambil atasnya.
  5. Hendaklah seorang hamba melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala sesuai dengan kemampuannya. Ini seperti dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

 “…Maka bertakwalah kamu kepada Allâh menurut kesanggupanmu…” [at-Taghâbun/64:16]

  1. Pengakuan seorang hamba atas dosa-dosanya dengan taubat.
  2. Penetapan dan pengakuan seorang hamba kepada Rabb-nya dengan kelemahan dan kekurangan, dengan menyembah-Nya dengan sebenar-benarnya.
  3. Tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allâh Azza wa Jalla .
  4. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Azza wa Jalla dari kejelekan apa-apa yang telah dia perbuat.
  5. Keutamaan Istighfâr (meminta ampun kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) dan keutamaan sayyidul Istighfâr.
  6. Hendaklah seorang hamba berlindung kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari kejelekan perbuatan dan niatnya, karena itu merupakan sebab mendapat hukuman dan adzab.
  7. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa segala tujuan itu hendaknya dicapai dengan cara-cara yang benar, dan sebab-sebab yang mencapai kepada tujuan itu. Adapun menggunakan khurafat, bid’ah, cara-cara yang syirik, maka itu tidak menambah (kedudukan) seorang manusia di hadapan Rabb-nya kecuali (tetap seorang) hamba (yang hina).

MARAAJI:

  1. Tafsir at-Thabari
  2. Kutubus Sittah
  3. Musnad Imam Ahmad
  4. ‘Amalul Yaum wal Lailah, Imam an-Nasa-i
  5. Kitab-kitab yang disebutkan dalam takhrij hadits
  6. Fathul Bâri, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, cet. Daarul Fikr
  7. Shahîh al-Wâbilis Shayyib, Ibnul Qayyim, takhrij: Syaikh Salim al-Hilali
  8. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdus Shâlihîn, Syaikh Salim al-Hilali
  9. Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr, Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad
  10. Do’a dan Wirid, Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XVI/1433H/2011M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Shahih: HR. Muslim (no.2577), Ahmad (V/160), dan selain keduanya dari Shahabat Abu Dzarr al-Ghifâri Radhiyallahu anhu .
[2] Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 794, 817) dan Muslim (no. 484).
[3] Shahih: HR. Ibnu Jarir Atsar at-Thabari dalam tafsirnya (no. 9207) dan lainnya. Syaikh Masyhur Hasan Salman berkata, ‘Sanadnya shahih mauquf dari Ibnu ‘Abbas c . (al-Kabâir, hlm. 47 karya Imam adz-Dzahabi)
[4] Shahih: HR. al-Bukhari (no. 6307), at-Tirmidzi (no. 3259), Ahmad (II/282, 341), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 438, 439), dan lainnya dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[5] Shahih: HR. Muslim (no. 2701 (42)), dari shahabat al-Agharr bin Yasar al-Muzani Radhiyallahu anhu .
[6] HR. Abu Dawud (no. 1516), at-Tirmidzi (no. 3434), dan Ibnu Majah (no. 3814). Hadits ini adalah lafazh at-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.”
[7] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1517). Lihat Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1358).
[8]  Fat-hul Bâri (XI/99).
[9]  Fat-hul Bâri (XI/100).
[10]  Syarah mufradat ini dinukil dari kitab Fat-hul Bâri (XI/98-100) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fiqhul Ad’iyati wal Adzkâr (III/18-20), Syaikh DR. Abdur Razzaq bin Abdul Muhsin al-Badr, dan kitab-kitab lainnya.
[11] Dibawakan perkataan ini oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (murid beliau) dalam kitab al-Wâbilis Shayyib, Lihat Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 16).
[12] Shahîh al-Wâbilis Shayyib (hlm. 17).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/12552-keutamaan-sayyidul-istighfar-2.html